Lencana Facebook

08 Oktober 2009

Hikmah...... Andalas terguncang....

Subhanallah. Sungguh di balik semua kejadian ada hikmah di baliknya. Begitupun gempa yang meluluhlantakkan Kota Padang dan sekitarnya.

Jika kita telusuri waktu terjadinya gempa Padang, berdasar catatan waktu kejadian yang dilansir Kompas, 1 Oktober 2009 bahwa gempa pertama terjadi pada pukul 17.16 WIB. Sedangkan gempa susulan terjadi pada pukul 17.38.

Saudara, marilah sejenak kita cermati dalam Al Qur’an. Jam menunjukkan nama surat, dan menit menunjukkan ayat. Jika kebetulan Al Qur’an terjemahan yang dilihat adalah terbitan Asy Syamil maka akan jelas alur pesan-pesan Illahi tersebut.

Dalam sudut pandang kausalitas, sebab-akibat, waktu gempa pertama menunjukkan Akibat (QS. 17:16) dan waktu gempa susulan menunjukkan Sebab (alasan terjadi)–(QS. 17:38).

Dalam Surat Al Isra’ ayat 38 ini pada catatan kaki, diterangkan uraian-uraian “kejahatan” manusia yang kita sadari wujud dan intensitasnya makin sering kita temui di tengah masyarakat kita.

Ala kulihal, marilah kita renungkan pesan Illahi tersebut. Mengapa Padang? Saya yakin, mereka para korban baik yang meninggal maupun keluarga yang ditinggalkan adalah pihak-pihak yang dipilih Allah. Mereka adalah orang-orang yang kuat, tabah dan sabar. Allah tidak akan menimpakan cobaan melebihi kemampuan umat-Nya.

Dus, untuk terakhir kalinya, mari kita doakan mereka yang telah menjadi korban dan bangun solidaritas sekemampuan kita.

Wallahu’alam bishawab.

Agung Budiono

16 Juni 2009

Dampak Negatif Otonomi Daerah

Sejak diberlakukannya paket UU mengenai Otonomi Daerah, banyak orang sering membicarakan aspek positifnya. Memang tidak disangkal lagi, bahwa otonomi daerah membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran. Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut tampaknya banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut.

Akan tetapi apakah di tengah-tengah optimisme itu tidak terbersit kekhawatiran bahwa otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan yang, jika tidak segera dicari pemecahannya, akan menyulitkan upaya daerah untuk memajukan rakyatnya? Jika jawabannya tidak, tentu akan sangat naif. Mengapa? Karena, tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Sejauh pengamatan saya, setidaknya ada dua fenomena yang mengkhawatirkan. Pertama, adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui pengumpulan pendapatan daerah. Kedua, penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol alias jor-joran.

Eksploitasi Pendapatan Daerah

Salah satu konsekuensi otonomi adalah kewenangan daerah yang lebih besar dalam pengelolaan keuangannya, mulai dari proses pengumpulan pendapatan sampai pada alokasi pemanfaatan pendapatan daerah tersebut. Dalam kewenangan semacam ini sebenarnya sudah muncul inherent risk, risiko bawaan, bahwa daerah akan melakukan upaya maksimalisasi, bukan optimalisasi, perolehan pendapatan daerah. Upaya ini didorong oleh kenyataan bahwa daerah harus mempunyai dana yang cukup untuk melakukan kegiatan, baik itu rutin maupun pembangunan. Daerah harus membayar seluruh gaji seluruh pegawai daerah, pegawai pusat yang statusnya dialihkan menjadi pegawai daerah, dan anggota legislatif daerah. Di samping itu daerah juga dituntut untuk tetap menyelenggarakan jasa-jasa publik dan kegiatan pembangunan yang membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Dengan skenario semacam ini, banyak daerah akan terjebak dalam pola tradisional dalam pemerolehan pendapatan daerah, yaitu mengintensifkan pemungutan pajak dan retribusi. Bagi pemerintah daerah pola ini tentu akan sangat gampang diterapkan karena kekuatan koersif yang dimiliki oleh institusi pemerintahan; sebuah kekuatan yang tidak applicable dalam negara demokratis modern. Pola peninggalan kolonial ini menjadi sebuah pilihan utama karena ketidakmampuan pemerintah dalam mengembangkan sifat wirausaha (enterpreneurship).

Apakah upaya intensifikasi pajak dan retribusi di daerah itu salah? Tentu tidak. Akan tetapi yang jadi persoalan sekarang adalah bahwa banyak pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan retribusi dari rakyatnya. Pemerintah daerah telah kebablasan dalam meminta sumbangan dari rakyat. Mau bukti? Silakan Anda hitung berapa item pajak dan retribusi yang musti Anda bayar selaku warga daerah. Jika Anda teliti, jumlahnya akan mencapai ratusan item. Saya sendiri bisa menyebutnya satu persatu akan tetapi tentu tidak akan cukup untuk memuatnya dalam tulisan singkat ini.

Beberapa bulan lalu berkembang sinisme di kalangan warga DKI Jakarta, bahwa setiap aktivitas yang mereka lakukan telah menjadi objek pungutan Pemda DKI, sampai-sampai buang hajat pun harus membayar retribusi. Pemda Provinsi Lampung juga bisa menjadi contoh unik ketika menerbitkan perda tentang pungutan terhadap label sebuah produk. Logika yang dipakai adalah bahwa label tersebut termasuk jenis papan reklame berjalan. Lucu? Tentu saja. Karena tampaknya Pemerintah setempat tidak bisa membedakan mana reklame, sebagai bentuk iklan, dan mana label produk yang berfungsi sebagai identifikasi nama dan spesifikasi sebuah produk. Kedua, jika perda tersebut diberlakukan (saya tidak begitu yakin apakah perda tersebut jadi diberlakukan atau tidak), akan timbul kesulitan besar dalam penghitungan dan pemungutan retribusi.

Dengan dua contoh tersebut, saya hanya ingin mengatakan bahwa upaya pemerintah daerah dalam menggali pendapatan daerah di era otonomi ini telah melampaui batas-batas akal sehat. Di satu pihak saya sependapat bahwa sebagai warga negara kita harus ikut berpartisipasi dalam proses kebijakan publik dengan menyumbangkan sebagian kemampuan ekonomi yang kita miliki melalui pajak dan retribusi. Akan tetapi, apakah setiap upaya pemerintah daerah dalam memungut pendapatan dari rakyatnya hanya berdasarkan justifikasi semacam itu? Tidak adakah ukuran kepantasan, sejauh mana pemerintah daerah dapat meminta sumbangan dari rakyatnya?

Bila dikaji secara matang, instensifikasi perolehan pendapatan yang cenderung eksploitatif semacam itu justru akan banyak mendatangkan persoalan baru dalam jangka panjang, dari pada manfaat ekonomis jangka pendek, bagi daerah. Persoalan pertama adalah beratnya beban yang harus ditanggung warga masyarakat. Meskipun satu item pajak atau retribusi yang dipungut dari rakyat hanya berkisar seratus rupiah, akan tetapi jika dihitung secara agregat jumlah uang yang harus dikeluarkan rakyat perbulan tidaklah kecil, terutama jika pembayar pajak atau retribusi adalah orang yang tidak mempunyai penghasilan memadai. Persoalan kedua terletak pada adanya kontradiksi dengan upaya pemerintah daerah dalam menggerakkan perekonomian di daerah. Bukankah secara empiris tidak terbantahkan lagi bahwa banyaknya pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang ujung-ujungnya hanya akan merugikan perkembangan ekonomi daerah setempat. Kalau pemerintah daerah ingin menarik minat investor sebanyak-banyaknya, mengapa pada saat yang sama justru mengurangi minat investor untuk berinvestasi?

Korupsi di Daerah

Fenomena lain yang sejak lama menjadi kekhawatiran banyak kalangan berkaitan dengan implementasi otonomi daerah adalah bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah. Sinyalemen ini menjadi semakin beralasan ketika terbukti bahwa banyak pejabat publik yang masih mempunyai kebiasaan menghambur-hamburkan uang rakyat untuk piknik ke luar negeri dengan alasan studi banding. Juga, mulai terdengar bagaimana anggota legislatif mulai menggunakan kekuasaannya atas eksekutif untuk menyetujui anggaran rutin DPRD yang jauh lebih besar dari pada sebelumnya. Belum lama diberitakan di Kompas (4/9) bagaimana legislatif Kota Yogya membagi dana 700 juta untuk 40 anggotanya atau 17,5 juta per orang dengan alasan menutup biaya operasional dan kegiatan kesekretariatan. Mengapa harus ada bagi-bagi sisa anggaran? Tidakkah jelas aturannya bahwa sisa anggaran seharusnya tidak dihabiskan dengan acara bagi-bagi, melainkan harus disetorkan kembali ke Kas Daerah? Dipandang dari kacamata apapun perilaku pejabat publik yang cenderung menyukai menerima uang yang bukan haknya adalah tidak etis dan tidak bermoral, terlebih jika hal itu dilakukan dengan sangat terbuka.

Sumber praktik korupsi lain yang masih berlangsung terjadi pada proses pengadaan barang-barang dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah item barang dianggarkan jauh lebih besar dari harga pasar. Kolusi antara bagian pengadaan dan rekanan sudah menjadi hal yang jamak. Pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat daerah juga merupakan bukti ketidakarifan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah. Hibah dari pihak ketiga kepada pejabat daerah sudah menjadi hal biasa yang tidak pernah diributkan dari dulu. Kalau dicermati dan dinalar, berapa kenaikan kekayaan pejabat daerah setelah mereka menjabat posisi tertentu? Seberapa drastis perubahan gaya hidup para pejabat publik itu?

Upaya Alternatif dan Kontrol Masyarakat

Pada intinya, dua dampak negatif tersebut seterusnya akan menjadi persoalan tersendiri, terlepas dari keberhasilan implementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan yang tidak populer melalui intensifikasi pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah sebenarnya sudah ada sejak lama dan akan terus berlangsung. Jika kini keduanya baru muncul dipermukaan sekarang, tidak lain karena momentum otonomi daerah memang memungkinkan untuk itu. Otonomi telah menciptakan kesempatan untuk mengeksploitasi potensi daerah dan sekaligus memberi peluang bagi para pahlawan baru menganggap dirinya telah berjasa di era reformasi untuk bertindak semau gue.

Untuk menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya bisa menempuh jalan alternatif, selain intensifikasi pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi disinsentif bagi perekonomian daerah, yaitu (1) efisiensi anggaran, dan (2) revitalisasi perusahaan daerah. Saya sepenuhnya yakin bahwa banyak pemerintah daerah mengetahui alternatif ini. Akan tetapi, jika keduanya bukan menjadi prioritas pilihan kebijakan maka pemerintah pasti punya alasan lain. Dugaan saya adalah bahwa pemerintah daerah itu malas! Pemerintah tidak mempunyai keinginan kuat (strong will) untuk melakukan efisiensi anggaran karena upaya ini tidak gampang. Di samping itu, ada keengganan (inertia) untuk berubah dari perilaku boros menjadi hemat.

Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi yang memadai karena kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan tidak berdasarkan prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis, pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui privatisasi.

Dalam kaitannya dengan persoalan korupsi, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Saya punya hipotesis bahwa pemerintah daerah atau pejabat publik lainnya, termasuk legislatif, pada dasarnya kurang bisa dipercaya, lebih-lebih untuk urusan yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan daerah. Tidak pernah sekalipun terdengar ada institusi pemerintahan, termasuk di daerah yang terbebas dari penyalahgunaan uang rakyat. Masyarakat harus turut aktif dalam menangkal perilaku korupsi di kalangan pejabat publik, yang jumlahnya hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah rakyat pembayar pajak yang diwakilinya. Rakyat boleh menarik mandat jika wakil rakyat justru bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan mengkhianati nurani keadilan masyarakat. Begitu juga, akhirnya seorang kepala daerah atau pejabat publik lain bisa diminta turun jika dalam melaksanakan tugasnya terbukti melakukan pelanggaran serius, yaitu korupsi dan menerima suap atawa hibah dalam kaitan jabatan yang dipangkunya!

08 Juni 2009

Tugas contoh CSR

Sumbangan Yamaha Musik ke Nias
10 Desember 2008
Pasca gempa dahsyat yang melahirkan gelombang Tsunami telah meluluh lantakan Nias yaitu sebuah pulau di sebelah barat Sumatera. Sedikitnya 638 orang dilaporkan tewas, serta ratusan bangunan hancur. Menurut Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Perwakilan Nias, bencana telah menyebabkan 13.000 rumah rusak total, 24.000 rumah rusak berat, dan sekitar 34.000 rumah rusak ringan.
Sebanyak 12 pelabuhan dan dermaga hancur, 403 jembatan rusak dan 800 km jalan kabupaten dan 266 km jalan provinsi hancur. Sebanyak 723 sekolah dan 1.938 tempat ibadah rusak. Hampir tidak ada bangunan perumahan rakyat di seluruh Pulau Nias yang tidak mengalami kerusakan akibat gempa itu.
Padahal sebelumnya Nias adalah sebuah pulau impian dengan keindahan panorama alamnya, terutama pantainya yang menjadi impian para peselancar (surfing) dunia, penyelaman, keindahan rumah tradisional, dan budaya lompat batu yang telah berusia ratusan tahun dan sangat diminati wisatawan local hingga mancanegara.
Kini Nias mencoba bergeliat kembali untuk bangkit dari kepedihan pasca bencana dahsyat tersebut. Tidak sedikit biaya yang di perlukan untuk merehabilitasi besarnya kerusakan phisik alam Nias beserta sarana dan prasarana kehidupan masyarakatnya.
Anak-anak Nias dari tingkat balita hingga mahasiswa sangat membutuhkan bantuan untuk kehidupan sehari-hari dan kegiatan yang positif dalam mengembangkan kreatifitas mereka sebagai upaya mengeluarkan mereka dari ‘rasa trauma’.
Asril Dachi seorang putera asli daerah Nias, yang sebelumnya adalah seorang staf pengajar di lingkungan Yamaha musik (YMI) dan juga sekaligus sebagai pendiri Sanggar Budaya Nias yang diberi nama “Bina Karya Seni” mengambil inisiatif mengajukan permohonan bantuan Instrument Keboard kepada Yamaha sebagai kelengkapan sarana aktifitas sanggarnya. Melalui keputusan pimpinan PT.Yamaha Musik Indonesia Distributor (PT. YMID), Yamaha memberikan bantuan berupa Yamaha Keyboard PSR 3000.
Tujuan mulia dari keberadaan sanggar tersebut sebagai upaya pelestarian seni budaya, sekaligus sebagai wadah penyaluran bakat dan kemampuan musikalitas para musisi muda Nias, di harapkan dapat menjadi titik awal dari kebangkitas musik di Nias.

Ulasan

Kegiatan tersebut merupakan sebuah bentuk tanggung jawab sosial perusahaan dari PT.Yamaha Musik Indonesia Distributor (PT. YMID). Walaupun kegiatan ini bukan berawal dari inisiatif PT.Yamaha Musik Indonesia Distributor (PT. YMID) sendiri, tetapi perusahaan tersebut tetap memberikan bantuan untuk rehabilitasi pulau Nias, utamanya di bidang musik tradisional.

Kegiatan CSR ketika terjadi bencana memang cukup menarik antusiasme banyak perusahaan. Walaupun perusahaan tersebut mengatakan bahwa tujuan mereka adalah murni untuk membantu pemulihan korban bencana alam, akan tetapi tidaka dapat dipungkiri bahwa dalam kegiatan tersebut terkandung sebuah tujuan yang lebih jauh lagi, yakni pemasaran jangka panjang.

Makalah Perekonomian Indonesia tentang kemiskinan

Makalah ini disajikan untuk memenuhi tugas Kuliah Perekonomian Indonesia
oleh : Afit Kurniawan
  1. Pendahuluan


Kemiskinan merupakan masalah multidimensi dan lintas sector yang dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan, antara lain: tingkat pendapatan, kesehatan, pendidikan, akses terhadap barang dan jasa, lokasi, geografis, gender, dan kondisi lingkungan.


Sampai saat ini jumlah penduduk miskin di Indonesia masih besar. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2005 sebesar 35,1 juta jiwa atau 15,97 persen. Kondisi ini memburuk, pada tahun 2006, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 39,3 juta jiwa atau 17,75 persen. Salah satu penyebab meningkatnya jumlah penduduk miskin pada tahun 2006 adalah tingginya tingkat inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Namun, berangsur-angsur kondisi ini terus membaik. Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar 34,96 juta atau 15,42 persen. Jumlah penduduk miskin tersebut sudah berkurang sebesar 2,21 juta dibandingkan dengan jumlah penduduk miskin pada bulan Maret 2007 yang berjumlah 37,17 juta atau 16,58 persen. Meskipun secara persentase telah terjadi penurunan, jumlah penduduk miskin yang ada masih harus terus diturunkan.


Sehubungan dengan itu, diperlukan kerja keras untuk menanggulangi kemiskinan yang menjadi tanggung jawab bersama, baik instansi pemerintah pusat dan daerah, instansi swasta maupun masyarakat pada umumnya.


  1. Masalah kemiskinan


Jumlah penduduk miskin yang masih cukup besar dan permasalahan kemiskinan yang kompleks dan luas menuntut penanganan yang komprehensif dan berkelanjutan dalam menurunkan jumlah penduduk miskin. Faktor lain yang masih memperlambat pencapaian penurunan kemiskinan sebagai berikut:

        1. Belum meratanya program pembangunan, khususnya di perdesaan, luar Pulau Jawa, daerah terpencil, dan daerah perbatasan. Sekitar 63,5 persen penduduk miskin hidup di daerah perdesaan. Secara persentase terhadap jumlah penduduk di daerah tersebut, kemiskinan di luar Pulau Jawa termasuk Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua juga lebih tinggi dibandingkan di Pulau Jawa. Oleh karena itu, upaya penanganan kemiskinan seharusnya lebih difokuskan di daerah-daerah tersebut.

        2. Masih terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap pelayanan dasar.

        3. Masih besarnya jumlah penduduk yang rentan untuk jatuh miskin, baik karena guncangan ekonomi, bencana alam, dan juga akibat kurangnya akses terhadap pelayanan dasar dan sosial. Hal ini menjadi permasalahan krusial yang harus dihadapi dalam penanganan kemiskinan. Pada saat ini masih terdapat 3,8 juta jiwa korban bencana alam, 2,5 juta jiwa orang cacat, 2,8 juta anak terlantar, 145 ribu anak jalanan, 1,5 juta penduduk lanjut usia, 64 ribu gelandangan dan pengemis, serta 66 ribu tuna susila yang membutuhkan bantuan dan jaminan sosial.

        4. Kondisi kemiskinan sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga kebutuhan pokok. Fluktuasi ini berdampak besar pada daya beli masyarakat miskin. Sehubungan dengan itu, upaya penanggulangan kemiskinan melalui stabilisasi harga kebutuhan pokok harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Hal ini bertujuan agar penanggulangan kemiskinan, baik di perdesaan maupun perkotaan dapat berjalan secara efektif dan efisien.


Berbagai kebijakan dan upaya penanggulangan kemiskinan sejak tahun 2005 hingga tahun 2008 senantiasa disempurnakan agar pengurangan angka kemiskinan dapat tercapai secara efektif. Beberapa kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan berbagai kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan dari tahun 2005—2008 adalah sebagai berikut:

          1. Tingginya inflasi pada tahun 2005 yang mencapai 17 persen menyebabkan garis kemiskinan pada tahun 2006 naik secara signifikan sehingga meningkatkan jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada tahun tersebut.

          2. Naiknya harga minyak dunia yang cukup besar telah mempersempit ruang gerak fiskal untuk melakukan ekspansi program pengentasan kemiskinan.

          3. Rangkaian bencana alam di beberapa daerah mengakibatkan beralihnya fokus pelaksanaan program pembangunan dan pertumbuhan. Akibatnya, pelaksanaan program pengentasan kemiskinan menjadi tidak optimal.

          4. Banyaknya program multisektor dan regional yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan, ternyata masih sangat sektoral dan kurang terintegrasi sehingga mengakibatkan rendahnya efektivitas dan efisiensi program tersebut.

          5. Pemahaman dan kemampuan pemda untuk melakukan sinergi terhadap program masih beragam dan belum optimal sehingga penurunan kemiskinan belum signifikan.

          6. Terbatasnya akses sumber pendanaan bagi masyarakat miskin dan masih rendahnya kapasitas serta produktivitas usaha untuk memperluas kesempatan kerja dan terciptanya kegiatan ekonomi bagi masyarakat/keluarga miskin.


Dari berbagai permasalahan tersebut, upaya penurunan tingkat kemiskinan sangat bergantung pada pelaksanaan dan pencapaian pembangunan di berbagai bidang. Oleh karena itu, agar pengurangan angka kemiskinan dapat tercapai, dibutuhkan sinergi dan koordinasi program-program pembangunan di berbagai sektor, terutama program yang menyumbang langsung pada penurunan kemiskinan.


  1. Pengertian Kemiskinan


            • Kemiskinan adalah ketidakmampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak (BPS dan Depsos, 2002:3).

            • Kemiskinan merupakan sebuah kondisi yang berada di bawah garis nilai standar kebutuhan minimum, baik untuk makanan dan non makanan, yang disebut garis kemiskinan (poverty line) atau batas kemiskinan (poverty threshold). Garis kemiskinan adalah sejumlah rupiah yang diperlukan oleh setiap individu untuk dapat membayar kebutuhan makanan setara 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan non-makanan yang terdiri dari perumahan, pakaian, kesehatan, pendidikan, transportasi, serta aneka barang dan jasa lainnya (BPS dan Depsos, 2002:4).

            • Kemiskinan pada umumnya didefinisikan dari segi pendapatan dalam bentuk uang ditambah dengan keuntungan-keuntunan non-material yang diterima oleh seseorang. Secara luas kemiskinan meliputi kekurangan atau tidak memiliki pendidikan, keadaan kesehatan yang buruk, kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat (SMERU dalam Suharto dkk, 2004).

            • Fakir miskin adalah orang yang sama sekali tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak memenuhi kebutuhan pokok yang layak bagi kemanusiaan (Depsos, 2001).

            • Kemiskinan adalah ketidaksamaan kesempatan untuk mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi (Friedman dalam Suharto, dkk.,2004:6) :

              1. modal produktif atau asset (tanah, perumahan, alat produksi, kesehatan),

              2. sumber keuangan (pekerjaan, kredit),

              3. organisasi sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan bersama (koperasi, partai politik, organisasi sosial),

              4. jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang, dan jasa,

              5. pengetahuan dan keterampilan, dan

              6. informasi yang berguna untuk kemajuan hidup


  1. Faktor-faktor Penyebab kemiskinan


  • Ketidakmampuan mengelola sumber daya alam secara maksimal;

  • Kebijakan ekonomi yang tidak berkomitmen terhadap penanggulangan kemiskinan dan semata-mata mengejar pertumbuhan ekonomi (trickle down effect tidak bekerja)

    • Kesalahan mendasar dalam asumsi perekonomian Indonesia adalah pengangguran dan kemiskinan hanya mungkin diatasi jika ekonomi tumbuh minimal (misalnya) 6,5 %.

    • Asusmsi demikian salah, karena:

    • Yang dapat mengatasi pengangguran dan kemiskinan adalah pertumbuhan ekonomi yang melibatkan kegiatan ekonomi rakyat yang pelakunya adalah masyarakat miskin.

    • Pengangguran dan kemiskinan adalah dua hal berbeda. Orang yang menganggur belum tentu miskin.

    • Ilustrasi: 1 % pertumbuhan diasumsikan mampu menampung 200.000-400.000 tenaga kerja baru, maka pertumbuhan 6.5 % hanya mampu mempekerjakan 1,3 juta-2,6 juta tenaga kerja dan tidak ada jaminan bagi penduduk miskin yang mencapai puluhan juta jiwa.


  1. Cara Pemerintah Mengatasi Kemiskinan


Pada prinsipnya, pemerintah dalam program pembangunannya telah menjadikan kemiskinan sebagai salah satu fokus utamanya. Program umum Presiden RI yang sering disebut dengan triple track mencakup pro poor, pro growth dan pro employment atau program pembangunan yang berfokus pada pengentasan kemiskinan, peningkatan pertumbuhan ekonomi dan perluasan lapangan kerja.

Dalam kondisi ideal, maka peningkatan pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan perluasan lapangan kerja dan pengurangan kemiskinan. Namun keadaan riil tidak selalu seperti yang diharapkan. Adapun hal-hal yang mungkin terjadi adalah :

  • Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak diikuti dengan pengurangan kemiskinan,

  • Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tetapi tidak lantas memperluas lapangan kerja

  • Lapangan kerja yang luas akan tetapi pertumbuhan ekonomi tetap rendah


Dalam mengatasi masalah kemiskinan harus bertumpu pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang memadai maka lapangan kerja yang tersedia tidak akan cukup atau bisa jadi tersedia lapangan kerja yang luas namun tidak sanggup untuk menyediakan tatanan upah yang memadai sehingga tetap tidak sanggup mengatasi masalah kemiskinan.


Namun sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang tinggi juga tidak dengan sendirinya akan menyediakan lapangan kerja yang berkualitas dan langsung menyelesaikan masalah kemiskinan. Ada beberapa faktor yang perlu menjadi catatan dalam hal ini sebagai berikut.


  1. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan ditopang oleh sektor-sektor yang memiliki elastisitas lapangan kerja rendah, tidak akan menyelesaikan masalah kemiskinan. Pertumbuhan ekonomi seperti ini umumnya memberikan pemihakan pada sektor sektor tertentu sehingga mempersempit peluang berkembangnya sektor lain, yang pada akhirnya akan berakibat pada berkurangnya jenis lapangan kerja yang tersedia.

  2. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi namun ditopang oleh keberadaan industri milik negara yang memperoleh sejumlah proteksi tertentu juga tidak menjamin akan dapat menyelesaikan masalah kemiskinan.

  3. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan ditopang oleh industri canggih juga berpotensi untuk memperparah masalah kemiskinan dan pengangguran.

  4. Selain itu, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan tetapi dengan ditunjang oleh kekuatan ekonomi yang bersifat terkonsentrasi juga tidak akan sanggup mengatasi masalah kemiskinan.


Secara umum, kebijakan yang dirancang untuk mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia umumnya akan selalu berhadapan dengan tiga tantangan penting yaitu:

  1. Tantangan untuk menyediakan lapangan kerja yang cukup.

  2. Tantangan untuk memberdayakan masyarakat.

  3. Tantangan untuk membangun sebuah kelembagaan jaminan sosial yang akan menjamin masyarakat ketika terjadi ketegangan ekonomi (economy shock).


Sehingga untuk lebih mengefektifkan kinerja program yang telah ada, maka perlu dirancang sebuah rekomendasi kebijakan yang akan sanggup untuk mengakselerasi capaian dari program-program tersebut.


Rekomendasi Kebijakan untuk Mengatasi Kemiskinan


Pemerintahan SBY-JK dewasa ini, memberikan komitmen yang sangat serius terhadap segenap upaya untuk mengatasi masalah kemiskinan. Bentuk keseriusan itu adalah dalam alokasi anggaran penanggulangan kemiskinan pada kementerian dan lembaga (KL) di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada 2007 sebesar Rp25,41 triliun atau 11,05% dari total pagu indikatif KL (Rp. 230,3 triliun) . Dengan alokasi anggaran sebesar itu, pemerintah bertekad untuk mengurangi penduduk miskin sampai 14,4% pada akhir tahun 2007.


Dalam kaitan dengan lapangan kerja, maka pemerintah pada tahun 2007 bertekad untuk menekan angka pengangguran terbuka menjadi 10,4% dari angkatan kerja, meningkatkan investasi berupa pembentukan modal tetap bruto 11,5% dan pertumbuhan industri nonmigas sebesar 8,1%, selain itu, meningkatkan penerimaan devisa negara dari pariwisata sebesar 15% . Pemerintah juga telah menyiapkan sebanyak 3,5 juta lapangan kerja baru dari sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM ) dalam jangka waktu 3-4 tahun kedepan . Bank Indonesia pada tahun 2007 ini, bank akan menyalurkan kredit kepada UMKM sebesar Rp 87,2 trilyun, dimana sebesar Rp 10,96 trilyun untuk kredit investasi .


Selain itu pemerintah juga telah membentuk kelembagaan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan (TKPK) melalui Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tanggal 10 September 2005 . Tugas dari TKPK adalah melakukan langkah-langkah konkret untuk mempercepat pengurangan jumlah penduduk miskin di seluruh wilayah NKRI melalui koordinasi dan sinkronisasi penyusunan dan pelaksanaan penajaman kebijakan penanggulangan kemiskinan.


Melalui TKPK pemerintah terus mengembangkan sejumlah program nasional untuk mengurangi kemiskinan antara lain dengan program penanggulangan kemiskinan yang pernah dilaksanakan antara lain P4K (Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil), KUBE (Kelompok Usaha Bersama), TPSP-KUD (Tempat Pelayanan Simpan Pinjam Koperasi Unit Desa), UEDSP (Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam), PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu), IDT (Inpres Desa Tertinggal), P3DT (Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), PPK (Program Pengembangan Kecamatan), P2KP (Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan), PDMDKE (Pemberdayaan Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi, P2MPD (Proyek Pembangunan Masyarakat dan Pemerintah Daerah), dan sejumlah program pembangunan sektoral lainnya yang diupayakan untuk memperkecil dampak krisis ekonomi dan mengurangi kemiskinan .


Untuk dapat mengakselerasi program-program kerja diatas maka setidaknya diperlukan 4 rekomendasi kebijakan sebagai berikut.

  1. Rekomendasi kebijakan pertama diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Program kerja yang dapat dilakukan antara lain: (1) mempercepat belanja negara yang dialokasikan pada sejumlah proyek infrastruktur dan memberdayakan usaha kecil menengah sektor-sektor produksi ; (2) mendukung dan memfasilitasi gerakan nasional penanggulangan kemiskinan dan krisis BBM melalui rehabilitasi dan reboisasi 10 juta hektar lahan kritis dengan tanaman yang menghasilkan energi pengganti BBM kepada masyarakat luas, diantaranya jarak pagar, tebu, kelapa sawit, umbi-umbian, sagu.

  2. Rekomendasi kedua adalah kebijakan penguatan sistem pendidikan nasional yang berorientasi pada penciptaan lapangan kerja. Kebijakan pendidikan harus diintegrasikan dengan kebijakan yang mengatur industri, ketenagakerjaan dan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bentuk program kerja yang dapat dilakukan antara lain: keberadaan kredit mikro bagi para individu miskin yang dirancang dengan skema yang sedemikian sehingga memacu produktifitas dan daya saing dari individu miskin tersebut. Program ini dilakukan dengan koordinasi Bank Indonesia melalui berbagai program keuangan mikro (microfinance) bersama bank-bank pembangunan daerah (BPD) dan bank-bank perkreditan rakyat (BPR) bekerja-sama dengan lembaga-lembaga keuangan milik masyarakat seperti Lembaga Dana dan Kredit Perdesaan (LDKP) dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Program kerja lainnya adalah membuka akses tanah olahan bagi para individu miskin. Untuk keberhasilan program kerja ini, diperlukan suatu kebijakan land reform yang kondusif.

  3. Rekomendasi ketiga adalah kebijakan yang mengatur pembangunan suatu kelembagaan perlindungan sosial bagi warga negara. Bentuk program kerjanya antara lain adalah jaminan asuransi, jaminan penanganan khusus untuk pemberikan kredit bagi para cacat untuk wira usaha dan regulasi lainnya terkait dengan upah minimum dan fasilitas minimum bagi para pekerja.

  4. Rekomendasi keempat adalah kebijakan yang memungkinkan adanya akses untuk menyuarakan aspirasi dan pendapat dari kalangan miskin (the poor). Bentuk program kerjanya antara lain pemberdayaan lembaga TKPKRI (Perpres 54/2005) secara lebih intensif yang akan memberikan akses pada terbentuknya forum-forum masyarakat miskin yang difasilitasi oleh pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat dan/atau memberdayakan forum-forum sejenis yang telah terbentuk.


Selama ini masyarakat miskin sering masih dianggap sebagai burden atau beban dalam suatu sistem ekonomi, sehingga bagaimana merubah total posisi masyarakat miskin yang tadinya sebatas beban atau burden dalam sistem ekonomi tersebut, menjadi kontributor dalam pertumbuhan ekonomi, khususnya melalui perannya yang semakin aktif dalam penciptaan lapangan kerja melalui kewirausahaan (entrepreneurships).

Hal itu dapat diwujudkan jika tersedia suatu fasilitas interaksi komunikasi melalui ketersediaan forum yang memungkinkan adanya akses bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pembelajaran agar dapat meningkatkan produktifitasnya sesuai dengan kondisi mereka masing-masing.


  1. Solusi Islam Dalam Mengatasi Kemiskinan


Islam memandang bahwa kemiskinan sepenuhnya adalah masalah struktural karena Allah telah menjamin rizki setiap makhluk yang telah, sedang, dan akan diciptakannya (QS 30:40; QS 11:6). Di saat yang sama Islam telah menutup peluang bagi kemiskinan kultural dengan memberi kewajiban mencari nafkah bagi setiap individu (QS 67:15). Setiap makhluk memiliki rizki masing-masing (QS 29:60) dan mereka tidak akan kelaparan (QS 20: 118-119).


Dalam perspektif Islam, kemiskinan timbul karena berbagai sebab struktural.

Pertama, kemiskinan timbul karena kejahatan manusia terhadap alam (QS 30:41) sehingga manusia itu sendiri yang kemudian merasakan dampak-nya (QS 42:30).

Kedua, kemiskinan timbul karena ketidakpedulian dan kebakhilan kelompok kaya (QS 3:180, QS 70:18) sehingga si miskin tidak mampu keluar dari lingkaran kemiskinan.

Ketiga, kemiskinan timbul karena sebagian manusia bersikap dzalim, eksploitatif, dan menindas sebagian manusia yang lain, seperti memakan harta orang lain dengan jalan yang batil(QS 9:34), memakan harta anak yatim (QS 4:2, 6, 10), dan memakan harta riba (QS 2:275).

Keempat, kemiskinan timbul karena konsentrasi kekuatan politik, birokrasi, dan ekonomi di satu tangan. Hal ini tergambar dalam kisah Fir'aun, Haman, dan Qarun yang bersekutu dalam menindas rakyat Mesir di masa hidup Nabi Musa (QS 28:1-88).

Kelima, kemiskinan timbul karena gejolak eksternal seperti bencana alam atau peperangan sehingga negeri yang semula kaya berubah menjadi miskin. Bencana alam yang memiskinkan ini seperti yang menimpa kaum Saba (QS 34: 14-15) atau peperangan yang menciptakan para pengungsi miskin yang terusir dari negeri-nya (QS 59:8-9).

Dengan memahami akar masalah, akan lebih mudah bagi kita untuk memahami fenomena kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan yang semakin meraja di sekeliling kita. Bukankah akar kemiskinan di negeri ini adalah perilaku eksploitatif akibat penerapan bunga sehingga kita setiap tahun harus menghabiskan sebagian besar anggaran negara untuk membayar bunga? Bukankah akar kemiskinan di negeri ini adalah birokrasi yang korup dan pemusatan kekuasaan di tangan kekuatan politik dan pemilik modal sehingga tidak jelas lagi mana kepentingan publik dan mana kepentingan pribadi? Bukankah akar kemiskinan di negeri ini adalah buah dari kejahatan kita terhadap lingkungan yang kita rusak sedemikian masif dan ekstensif?


Strategi pengentasan

Islam memiliki berbagai prinsip terakit kebijakan publik yang dapat dijadikan panduan bagi program pengentasan kemiskinan dan sekaligus penciptaan lapangan kerja.

Pertama, Islam mendorong pertumbuhan ekonomi yang memberi manfaat luas bagi masyarakat (pro-poor growth).

Islam mencapai pro-poor growth melalui dua jalur utama: pelarangan riba dan mendorong kegiatan sektor riil. Pelarangan riba secara efektif akan mengendalikan inflasi sehingga daya beli masyarakat terjaga dan stabilitas perekonomian tercipta. Bersamaan dengan itu, Islam mengarahkan modal pada kegiatan ekonomi produktif melalui kerja sama ekonomi dan bisnis seperti mudharabah, muzara'ah, dan musaqat. Dengan demikian, tercipta keselarasan antara sektor riil dan moneter sehingga pertumbuhan ekonomi dapat berlangsung secara berkesinambungan.

Kedua, Islam mendorong penciptaan anggaran negara yang memihak pada kepentingan rakyat banyak (pro-poor budgeting). Dalam sejarah Islam, terdapat tiga prinsip utama dalam mencapai pro-poor budgeting yaitu: disiplin fiskal yang ketat, tata kelola pemerintahan yang baik, dan penggunaan anggaran negara sepenuhnya untuk kepentingan publik. .

Tidak pernah terjadi defisit anggaran dalam pemerintahan Islam walau tekanan pengeluaran sangat tinggi, kecuali skala pada masa pemerintahan Nabi Muhammad SAW karena perang. Bahkan pada masa Khalifah Umar dan Usman terjadi surplus anggaran yang besar. Yang kemudian lebih banyak didorong adalah efisiensi dan penghematan anggaran melalui good governance. Di dalam Islam, anggaran negara adalah harta publik sehingga anggaran menjadi sangat responsif terhadap kepentingan orang miskin..

Ketiga, Islam mendorong pembangunan infrastruktur yang memberi manfaat luas bagi masyarakat (pro-poor infrastructure). Islam mendorong pembangunan infrastruktur yang memiliki dampak eksternalitas positif dalam rangka meningkatkan kapasitas dan efisiensi perekonomian. Nabi Muhammad SAW membagikan tanah di Madinah kepada masyarakat untuk membangun perumahan, mendirikan pemandian umum di sudut kota, membangun pasar, memperluas jaringan jalan, dan memperhatikan jasa pos. Khalifah Umar bin Khattab membangun kota Kufah dan Basrah dengan memberi perhatian khusus pada jalan raya dan pembangunan masjid di pusat kota. Beliau juga memerintahkan Gubernur Mesir, Amr bin Ash, untuk mempergunakan sepertiga penerimaan Mesir untuk pembangunan jembatan, kanal, dan jaringan air bersih..

Keempat, Islam mendorong penyediaan pelayanan publik dasar yang berpihak pada masyarakat luas (pro-poor public services). Terdapat tiga bidang pelayanan publik yang mendapat perhatian Islam secara serius: birokrasi, pendidikan, dan kesehatan.

Di dalam Islam, birokrasi adalah amanah untuk melayani publik, bukan untuk kepentingan diri sendiri atau golongan. Khalifah Usman tidak mengambil gaji dari kantor-nya. Khalifah Ali membersihkan birokrasi dengan memecat pejabat-pejabat pubik yang korup. Selain itu, Islam juga mendorong pembangunan pendidikan dan kesehatan sebagai sumber produktivitas untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang.

Kelima, Islam mendorong kebijakan pemerataan dan distribusi pendapatan yang memihak rakyat miskin. Terdapat tiga instrument utama dalam Islam terkait distribusi pendapatan yaitu aturan kepemilikan tanah, penerapan zakat, serta menganjurkan qardul hasan, infak, dan wakaf. Demikianlah Islam mendorong pengentasan kemiskinan melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, pengembangan sektor riil, dan pemerataan hasil pembangunan.


  1. Kesimpulan

Masalah kemiskinan di Indonesia memang sangat rumit untuk dipecahkan. Dan tidak hanya di Indonesia saja sebenarnya yang mengalami jerat kemiskinan, tetapi banyak negara di dunia yang mengalamipermasalahan ini.


Selama ini cara-cara yang dilakukan pemerintah masih belum menuai hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan karena beberapa kelemahan dalam program penanggulangan kemiskinan, antara lain:

  1. Masih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi makro daripada pemerataan;

  2. Sentralisasi kebijakan daripada desentralisasi;

  3. Lebih bersifat karitatif daripada transformatif;

  4. Memposisikan masyarakat sebagai objek dan bukan subjek;

  5. Cara pandang tentang penanggulangan kemiskinan masih berorientasi pada ‘charity’ daripada ‘productivity’;

  6. Asusmsi permasalahan dan solusi kemiskinan sering dipandang sama daripada pluralistis.


Sebenarnya Islam telah menyajikan sebuah solusi yang bisa menjawab kelemahan-kelemahan tersebut. Dan hal ini sesuai dengan firman-firman Allah dan juga teladan-teladan yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Akan tetapi selama ini belum ada upaya yang benar-benar serius untuk memakai cara yang telah disajikan Islam tersebut.

27 Maret 2009



Kita semua pada tau kan atau ada yang baru tau bahwa tanggal 28 maret 2009 ini akan diadakan kampanye global untuk menekan pemanasan global dalam bentuk gerakan mematikan lampu sejenak selama 60 menit dari pukul 20.30 - 21.30. Jadi seluruh penduduk dunia yang masih memiliki kepedulian terhadap lingkungan dan bumi dihimbau untuk melakukan pemadaman lampu dan alat elektronik lainnya, ga perlu lama-lama kok cuma 60 menit aja.

Earth Hour tahun ini merupakan kali pertama diadakan dan jakarta dipilih menjadi kota pertama diadakannya kampanye global ini tetapi penduduk kota-kota lain di seluruh Indonesia boleh berpatisipasi karena ini bukan sekedar ikut-ikutan tapi demi memberikan bumi Indonesia untuk bernafas sejenak. Jika kampanye Earth Hour ini sukses dilakukan di Jakarta maka ada beberapa catatan yang didapat yaitu :

- Mengurangi emisi sekitar 284 ton CO2
- Menyelamatkan lebih dari 284 pohon
- Menghasilkan O2 untuk lebih dari 568 orang
- Mengurangi beban biaya listrik Jakarta sekitar Rp 200 juta
- Efisiensi 300MW, daya segini cukup untuk mengistirahatkan 1 pembangkit listrik

Untuk satu kota aja efeknya lumayan apalagi kalau diadakan di seluruh Indonesia. Menyelamatkan bumi kan ga selalu harus dengan hal-hal yang besar atau yang belum sanggup kita lakukan tapi kan cukup dengan hal kecil seperti ini. Mari Kita Dukung !

Nah daripada ngeliatin kampanye parpol yang makin hari makin bikin kesel mending ngeliatin video kampanye global earth hour 2009 yang dibintangi oleh artis-artis indonesia beserta behind the scene nya..


Brani???

p'ekO iNd

    Faktor Sosial dan Budaya

    Faktor sosial dan budaya dapat mempengaruhi pembangunan ekonomi. Faktor sosial dan budaya antara lain sikap, tingkah laku, pandangan masyarakat, motivasi kerja, kelembagaan masyarakat, dan hal-hal lainnya yang berkaitan dengan itu. Sebagai ilustrasi, pendidikan dan kebudayaan barat membawa pemikiran dan pandangan ke arah penalaran (reasoning), sikap skeptisisme, serta semangat menghasilkan penemuan baru dan pembaharuan, yang kesemuanya dapat menunjang pertumbuhan ekonomi. Kekuatan faktor ini menghasilkan perubahan pandangan, harapan dan nilai-nilai sosial.

    Di negara-negara berkembang ada kalanya sikap dan tradisi sosial budaya tidak menunjang kemajuan dan perkembangan ekonomi. Mereka kebanyakan dipengaruhi oleh adat kebiasaan dan lebih menghargai waktu senggang, kesenangan, dan keikutsertaan pada pesta-pesta dan upacara keagamaan. Uang dihabiskan pada usaha-usaha yang bersifat nonekonomi. Pandangan budaya semacam ini menghalangi kemajuan dan menyebabkan lembaga sosial dan politik berada pada posisi terbelakang.

    Faktor Politik dan Administrasi Pemerintahan

    Faktor politik dan administrasi juga membantu pertumbuhan ekonomi modern. Menurut Prof. Lewis, “tindakan pemerintah memainkan peranan penting dalam merangsang dan mendorong kegiatan ekonomi”. Politik yang tidak stabil, baik di negara maju maupun di negara berkembang adalah faktor penghambat kelancaran pembangunan dan kemajuan ekonomi. Perdamaian, keamanan, dan kestabilan telah mendorong perkembangan kewiraswastaan di negara maju, di samping kebijaksanaan fiskal dan moneter yang diterapkan secara tepat oleh pemerintah.

    Bagi negara-negara berkembang situasi politik yang tidak stabil merupakan faktor penghambat pembangunan ekonomi. Administrasi yang kuat, efisien, dan tidak korup amat penting bagi pembangunan ekonomi.

    Dengan demikian kebijakan dan tindakan pemerintah yang tepat memainkan peranan yang penting dalam merangsang atau mendorong kemajuan ekonomi. Stabilitas pemerintahan, ekonomi moneter, kemajuan teknologi, mobilitas faktor dan pasar yang luas akan merangsang usaha dan inisiatif kegiatan produktif, khususnya mendorong berkembangnya kewiraswastaan yang sangat besar peranannya bagi pertumbuhan dan kemajuan ekonomi.

Faktor Manusia

Sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi. Peningkatan GNP per kapita berkaitan erat dengan pengembangan faktor manusia sebagaimana terlihat dalam peningkatan efisiensi dan produktivitas. Inilah yang oleh ahli ekonomi modern disebut pembentukan modal insani, yaitu proses peningkatan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan seluruh penduduk negara yang bersangkutan.

Jumlah penduduk yang meningkat pesat merupakan penghambat bagi pembangunan ekonomi negara-negara berkembang. Dengan pendapatan per kapita dan pembentukan modal yang rendah maka sulit bagi negara berkembang untuk menopang ledakan penduduknya. Walaupun output meningkat sebagai hasil teknologi yang lebih baik dan pembentukan modal, namun peningkatan ini ditelan oleh kenaikan jumlah penduduk. Pada akhirnya, tidak ada perbaikan dalam laju pertumbuhan nyata perekonomian.

Susunan dan Tertib Hukum

    Susunan dan tertib hukum serta pelaksanaan hukum dan peraturan perundang-undangan yang keliru sering kali menghambat kemajuan ekonomi di negara-negara berkembang. Kondisi ini tentu saja tidak mendukung kegairahan usaha dan kegiatan ekonomi dalam masyarakat sehingga tidak mendukung terlaksananya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

    Karena itu, hukum harus dilaksanakan secara tertib dan konsekuen yang ditujukan untuk menunjang pembangunan, yang meliputi hal-hal berikut ini.

  1. Hukum harus diterapkan secara objektif, jujur serta adil terhadap semua orang tanpa kecuali.
  2. Hukum harus melindungi hak milik seseorang atau masyarakat, tidak ada perampasan hak milik secara sewenang-wenang.
  3. Hukum-hukum ciptaan kolonial perlu ditinjau kembali apakah masih sesuai atau tidak dengan kondisi saat ini.
  4. Monopoli dan oligopoli harus diatur dan dikendalikan berdasarkan hukum yang tegas.
  5. Hak cipta dan hak paten harus dilindungi menurut peraturan perundang-undangan yang tegas dan tertib
  6. Pengetahuan dan kesadaran hukum masyarakat perlu ditingkatkan dengan jalan mengadakan bimbingan dan penyuluhan hukum.

Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi

    Sejarah Singkat Hukum dan Pembangunan

    Hukum dan pembangunan itu adalah terjemahan dari Law and Development, yang mulai berkembang di Amerika Serikat sesudah perang dunia kedua. Jika merunut pada pengertian yang dikembangkan di Amerika khususnya yang berhubungan dengan organisasi United States Agency for Interantional Development (USAID) dan lembaga seperti Ford Foundation atau Rockefeller Foundation, maka perkembangan hukum dan pembangunan dapat dibaca dari upaya lembaga-lembaga ini dalam mempengaruhi dan memperkenalkan kepada negara-negara berkembang dalam melakukan pembangunan ekonomi dan pembangunan infrastruktur.[2]

    Hal ini dimulai dengan melakukan pengiriman dan reseach oleh ahli hukum dari Amerika. Bahkan pada tahun 1966 Kongres Amerika mengundangkan “Foreign Asistence Act of 1966” untuk membantu Negara-negara berkembang di Asia, Afrika dan Amerika Latin memperbaharui dan memperkuat system hukum.[3] Pengiriman para ahli hukum Amerika ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari agenda bantuan. Hal ini dapat dilihat secara nyata dari besarnya bantuan keuangan yang dianggarkan, dimana untuk Afrika misalnya diperkirakan sebesar US $ 15 juta dan sebesar US $ 5 juta.[4] Biaya yang besar ini dikeluarkan karena ada anggapan bahwa modernisasi hukum pada negara-negara yang baru itu sangat diperlukan dan hukum yang modern itu diperlukan untuk mempromosikan pembangunan ekonomi. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa hukum yang modern itu akan memberi pengaruh pada pembangunan ekonomi, karena hukum yang modern itu memberikan fasilitas dan ruang pada perencanaan ekonomi sebab hukum yang modern itu sebagai sarana yang tepat untuk membangun masyarakat.[5]

    Rasio dari perlunya hukum yang modern dalam pembangunan karena pada hukum modern mempunyai ciri-ciri antara lain, pertama, aturan diterapkan dengan cara yang tidak berbeda; kedua, perundang-undangan bersifat transaksional; ketiga norma hukum modern bersifat universal; keempat, sistem hukum bersifat hirarkis; kelima, sistem hukum diatur secara birokratis; keenam, sistem hukum bersifat rasional; ketujuh, sistem hukum dijalankan oleh para ahli hukum; kedelapan, sistem hukum bersifat tehnis dan komplek; kesembilan sistem hukum dapat diubah; kesepuluh, sistem ini bersifat politik; dan kesebelas, tugas membuat dan menerapkan undang dilakukan oleh pihak yang berbeda.[6]

    Bantuan mengembangkan hukum dan pembangunan ekonomi ini, diberikan oleh Amerika Serikat kepada banyak negara. Bahkan di Indonesia pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an ketika mulai direncanakan pembangunan nasional oleh pemerintah, “bantuan ahli hukum” atau ahli hukum yang diperbantukan kepada Departemen tertentu atau membantu di kantor hukum tertentu atau ahli hukum tertentu.[7] Kondisi ini sempat menjadi salah satu bahan gosip dikalangan praktisi hukum di Jakarta. Gossip dan kecurigaan terhadap ahli hukum dari Amerika yang merugikan pihak Indonesia ini misalnya dalam penyusuan kontrak awal antara Pertamina dan perusahaan-perusahaan minyak Amerika, bahkan kontrak antara Pemerintah dengan PT Freeport[8] yang dianggap sangat merugikan pihak Indonesia dicurigai sebagai bentuk akal-akalan dari para ahli hukum Amerika yang selama ini banyak memberikan bantuan kepada pemerintah Indonesia.[9]

    Buku John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man,[10] bisa menjadi salah satu sumber akurat yang menceritakan betapa “kotornya” maksud dan tujuan bantuan yang diberikan Amerika terhadap Indonesia. Fakta yang kasat mata dan merugikan pihak Indonesia adalah kontrak listrik swasta yang dibuat antara perusahaan Amerika dan Perusahaan Listrik Negara, yang pernah digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat beberapa tahun lalu.[11]

    Terlepas dari niat tersembunyi dari Amerika Serikat, yang pasti cukup banyak staf pengajar dari Universitas terkemuka di Indonesia yang diberi bea siswa untuk belajar pada universitas-universitas terkenal di Amerika, begitu juga cukup banyak ahli hukum Indonesia yang mendapat kesempatan belajar dari para hali hukum Amerika tersebut. Bahkan kehadiran para ahli hukum dari Amerika ini cukup banyak membantu perkembangan praktisi hukum dibidang non litigasi, atau yang biasa dikenal dengan sebutan dibidang corporate.[12]

    Peranan Ahli Hukum dalam Pembangunan

    Peranan ahli hukum dalam pembangunan ekonomi mempunyai kedudukan yang sentral. Keberadaan ahli hukum adalah untuk memberikan perlindungan dari kesalahan dalam penyusunan undang-undang atau peraturan yang dibuat, tidak terbatas pada kesalahan tehnis, tetapi juga kesalahan filosofis. Keahlian para ahli hukum ini diperlukan terutama pada kegiatan merancangan undang-undang tertentu, seperti undang-undang bidang politik, hak azasi manusia, perdagangan dan lain-lain.

    Dalam tradisi Barat peranan ahli hukum itu sangat penting, sebagaimana dikatakan oleh Wolfgang G. Friedman, dalam tradisi Barat, ahli hukum telah menyumbangkan sesuatu pada perkembangan sistem hukum, dan dengan demikian turut serta dalam mengembangkan masyarakat, terutama sebagai hakim, pembela dan sarjana. Ahli hukum juga memberikan perhatian terhadap perubahan legislatif – sebagai anggota komite perubahan hukum,…..sebagai ahli pada departemen pemerintah, atau sebagai perancang di parlemen”.[13]

    Seperti juga dicatat oleh Friedman[14] bahwa peranan ahli hukum di Amerika sejak awal kemerdekaan sangat dominan, misalnya 40 orang dari 61 anggota Kongres adalah ahli hukum. Banyak Presiden pada awalnya adalah ahli hukum, dan sebelum menjadi Presiden berpraktik sebagai penasehat hukum, bahkan menurut catatannya pada masa pemerintahan Presiden Clinton 75 % anggota Kabinet adalah ahli hukum yang pernah berpraktik sebagai penasihat hukum.

    Menurut Friedman, kondisi ini bukan kebetulan tetapi adalah satu keniscayaan, sebab urusan penasihat hukum erat kaitannya dengan urusan pemerintah. Pemerintah membuat dan mengatur hukum dan hukum diketahui oleh penesihat hukum.

    Hal tersebut agak berbeda dengan keadaan di Indonesia. Kalau kita lakukan survei secara sederhana, peranan ahli hukum selama pemerintahan Orde Baru lebih banyak sebagai pelengkap penderita, Jaksa Agung cukup lama dan secara bergantian dijabat oleh tentara,[15] Menteri Kehakiman tentara, bahkan Ketua Mahkamah Agung juga pernah dijabat oleh tentara.

    Semua departemen selalu ada bagian hukum, begitu juga pada hampir semua perusahaan swasta atau BUMN selalu ada bagian hukum, tetapi bagian hukum tampak muram dan tidak mampu mendukung kebutuhan departemen atau perusahaan dalam menangni masalah hukum. Sehingga sekali lagi bagian hukum itu hanya sebagai pemantas, para ahli hukum dikantor-kantor pemerintah atau perusahaan swasta tidak pernah mendapat posisi sebagai pihak yang memberikan pertimbangan akhir.

    Para ahli hukum di pemerintahan atau di lembaga swasta, sebagian besar hanya pelengkap, terutama dalam melakukan dokumentasi, tidak akan diminta sebagai pemberi pertimbangan akhir dalam pengambilan keputusan. Bahkan tidak jarang dalam praktik, para ahli hukum itu hanya bertugas menyusun kalimat dalam membuat perjanjian. Isi perjanjian sudah disetujui dan tidak melibatkan ahli hukum, atau dalam istilah yang biasa digunakan “masalah komersial” sudah selesai, yang belum selesai adalah perjanjian secara tertulis.

    Tidak ikutsertanya para hali hukum ini, mungkin karena ahli hukum dianggap tidak perlu terlibat, sebab kalau mereka terlibat dalam melakukan negosiasi mereka tidak jarang ketakutan berlebihan, atau mungkin juga karena ahli hukum yang ada dianggap tidak mempunyai kemampuan untuk berunding, karena pengetahuan tehnisnya tentang masalah yang dirundingkan tidak memadai. Atau mungkin juga seperti kritik yang ditemui dalam penelitian yang dilakukan oleh Bappenas dengan bantuan World Bank, bahwa sarjana hukum sekarang ini tidak mempunyai kemampuan menulis secara logis dan konsisten suatu opini hukum atau memorandum hukum.[16] Atau mungkin juga keberadaan ahli hukum yang terkesampingkan ini berhubungan dengan ucapan Bung Karno yang sangat terkenal bahwa “met de juristen kunnen wij geen revolutie maken”, dengan sarjana hukum kita tidak bisa membuat revolusi.[17]

Perbedaan Iklim

    Adalah suatu kenyataan bahwa hampir semua negara maju berada di daerah beriklim sedang. Sedangkan hampir semua negara berkembang terletak di daerah beriklim tropis dan subtropis. Jadi faktor iklim dapat menimbulkan kesulitan tertentu baik langsung maupun tidak langsung dalam proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.

    Faktor iklim yang jelas mempengaruhi secara langsung kepada kondisi produksi pada umumnya adalah cuaca/iklim yang sangat panas dan kelembaban di sebagian besar negara-negara miskin, yang menyebabkan mutu tanah bertambah jelek dan depresiasi benda-benda alam yang cepat. Keadaan ini dapat menyebabkan rendahnya produktivitas hasil pertanian tertentu, lambatnya pertumbuhan regenerasi hutan dan terganggunya kesehatan binatang.

Aspek Ideologi

    Ideologi dapat dipahami dalam beberapa pengertian. Pertama, ideologi diartikan sebagai philosophy dan pandangan hidup manusia. Kedua, ideologi diartikan sebagai pengetahuan yang berguna dalam perubahan sosial. Ketiga, ideologi diartikan sebagai sesuatu yang dipercayai dan dapat memberikan orientasi. Keempat, ideologi diartikan sebagai produk intelektual yang didalamnya terdapat nilai moral, pandangan terhadap masyarakat yang baik, systematic to believe, dan rencana strategis untuk masa depan.

    Pembangunan politik secara singkat dapat diartikan sebagai proses membentuk pemerintahan yang sesuai aspirasi rakyat. Dalam buku Pembangunan Politik Dan Perubahan Politik, Lucian W Pye menulis bahwa pembangunan politik merupakan salah satu indikator dari proses perubahan sosial yang multi dimensional. Menurutnya,

    Kebutuhan nyata akan asumsi-asumsi teoritis yang dapat dipakai sebagai pedoman pemilihan bidang-bidang yang harus dimasukan dalam indeks pengukur pembangunan erat berhubungan dengan segi-segi lain dari perubahan sosial dan konomi. Hal ini tak dapat dibantah, sebab bidang apapun yang relevan dalam menjelaskan kekuatan potensial suatu bangsa harus mencerminkan keadaan ekonomi dan ketertiban sosialnya. Mungkin dapat diajukan argumen bahwa adalah tidak perlu dan tidak pantas berusaha memisahkan sama sekali pembangunan politik dari bentuk-bentuk lain dari pembangunan. Meskipun dalam batas-batas tertentu bidang politik dapat berdiri otonom dari masyarakat luas, pembangunan politik jangka panjang hanya dapat berjalan dalam proses sosial yang multi dimensional, dalam mana tiada satu pun dari sektor masyarakat dapat tertinggal jauh (Lucian W Pye :Pembangunan Politik Dan Perubahan Politik).

    Dari tulisan Lucian W Pye diatas, dapat dipahami bahwa bentuk pembangunan politik di suatu negara erat kaitannya dengan proses-proses perubahan sosial dan pembangunan ekonomi. Selain itu pembangunan politik juga erat kaitannya dengan pembangunan negara (state building) dan pembangunan karakter bangsa (nation buliding.

    Dalam konteks nation buliding, karakter suatu bangsa dapat dibangun dengan adanya ideologi. Ideologi suatu negara pada akhirnya berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan dan dilaksanakan oleh pemerintah.

Menurut Lucian W Pye, pembangunan politik dapat dilihat dengan pola yang berbeda-beda berdasarkan realitas yang terjadi di suatu negara. Pembangunan politik bukanlah suatu proses unilinier (menaik), bukan pula proses yang didasarkan pada pentahapan yang jelas dan tajam, melainkan suatu perkembangan yang ditentukan oleh luas lingkup persoalan yang timbul baik tersendiri maupun bersama-sama.
referralid=(yoRjQzIo4.' target="_blank">

from FB

Cari sepuasnya disini z

Custom Search