Lencana Facebook

20 Desember 2008

Tugas HB Haki

KASUS PEMALSUAN LUKISAN NYOMAN GUNARSA

I. Pandahuluan

Pelanggaran hak cipta kembali menimpa dunia seni lukis. Salah seorang maestro seni lukis nasional asal Bali, I Nyoman Gunarsa, yang karya lukisnya bernilai hingga ratusan juta rupiah dipalsukan dan diperjualbelikan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.

Kasus yang berlarut ini berawal dari ditemukannya karya palsu oleh istrinya Gunarsa tujuh tahun lalu di salah satu galeri di Bali. Setelah ditelusuri, lukisan tersebut hampir menyerupai dan menggunakan tanda tangan palsu I Nyoman Gunarsa. Bahkan, lukisan telah diperjualbelikan hingga ke luar negeri.

Kejadian ini cukup menyedot perhatian masyarakat turis mancanegara dan para seniman yang ada di Bali. Karena bukan tidak mungkin hingga puluhan karya Nyoman Gunarsa yang telah dipalsukan.

Berikut ulasan rututan kasusnya :

Kasus ini berawal dari adanya sejumlah lukisan ”karya Gunarsa” yang dipajang di Cellini Gallery di Jalan Gatot Subroto, Denpasar. Masalahnya, sang pelukis menyatakan tak pernah membuat lukisan itu. Inilah yang menyeret sang pemilik galeri, Hendradinata, ke pengadilan. Jaksa mendakwa Sinyo—demikian pria 62 tahun ini biasa dipanggil—melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta, undang-undang yang bersemangat melindungi hak kekayaan intelektual. Ancaman hukuman bagi pelanggar undang-undang ini maksimal tiga tahun penjara.

Kisah ditemukannya ”lukisan palsu” ini bermula pada 10 Januari 2000. Kala itu, istri Nyoman Gunarsa, Indrawati, melintas di depan Cellini Gallery. Selintas wanita ini melihat lukisan mirip karya suaminya. Benar. Petugas galeri menyebut itu lukisan Gunarsa. Pada 10 lukisan di situ, memang ada tanda tangan Gunarsa dan stiker mungil bertulisan ”karya Nyoman Gunarsa”. Tapi Indrawati yakin itu semua palsu.

Salah satunya, misalnya, yang menggambarkan tiga penari Bali sedang asyik bercengkerama. Dalam goresan Gunarsa asli, tiga penari ini seolah ”hidup”. Kecantikan penari bersinar oleh paduan warna yang menyala dan proporsional, khas Gunarsa. Lukisan yang tergantung di Cellini berbeda, kendati temanya sama. Indrawati melihat latar belakang lukisan itu juga dominan biru dan warnanya suram. Garis dan sapuannya kaku dan ragu-ragu. ”Istri saya tahu betul karena bertahun-tahun menemani saya melukis,” kata Gunarsa kepada Tempo.

Keesokan harinya, putra Gunarsa, Gde Artison Andarawata, mendatangi Cellini. Ia bermaksud memotret lukisan-lukisan itu, tapi batal karena dilarang Hendradinata. Artison bertanya dari mana lukisan itu didapat. ”Dijawab lukisan itu dibeli dari sejumlah peting-gi polisi di Bali,” kata Gunarsa.

Gunarsa melaporkan kasus ini ke Kepolisian Daerah Bali. Pada April 2000, bersama petugas Polda Bali, seniman ini mengecek lukisan-lukisan itu. Lukisan-lukisan itu kemudian diperiksa Pusat Laboratorium Forensik Polda Bali. Setelah membandingkannya dengan lukisan asli Gunarsa, polisi menyatakan lukisan itu palsu, termasuk tanda tangan Gunarsa di kanvas.

Tapi, kala itu, polisi ternyata tidak memperkarakan Hendradinata. Yang dinyatakan bersalah I Made Suwitha. Kepada polisi, Suwitha mengaku dialah yang menjual lukisan Gunarsa ke Sinyo. ”Kenapa Sinyo ketika itu tak disentuh, saya tidak tahu,” kata Gunarsa. Gunarsa mengaku sebelumnya memang kenal dekat dengan Suwitha dan pernah memberikan empat lukisannya kepada lelaki tersebut. ”Tapi, dari lukisan yang saya berikan, tak ada satu pun yang dipa-jang di Cellini Gallery,” katanya.

Polisi lantas membidik Suwitha melanggar Pasal 380 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang larangan memberi nama atau tanda palsu di atas hasil karya seni. Ancaman hukuman bagi pelanggar pasal ini maksimal 2 tahun 6 bulan penjara. Pada 14 Maret 2002, hakim menyatakan Suwitha bersalah. Ia dihukum penjara 6 bulan dengan masa percobaan 10 bulan.

Tapi, tak berselang lama, ganti Hendradinata yang melaporkan Indrawati karena telah melakukan perusakan dan pencemaran nama baik. Menurut Sinyo, ketika melihat-lihat lukisan miliknya, Indrawati sempat memukul dan merusak lukisan itu.

Tak menyerah, Gunarsa balik melaporkan Sinyo ke polisi. Laporan kepada polisi pada Juni 2004 itu manjur. Sinyo sempat datang ke rumah Gunarsa untuk minta maaf. Menurut Gunarsa, dia bersedia memberi maaf dengan syarat: Sinyo bersedia mengaku bersalah lantaran menjual lukisan palsu, meminta maaf di media massa, dan mencabut laporannya ke polisi soal Indrawati. ”Dia bersedia dan menandatangani kertas berisi perjanjian itu, tapi sampai saat ini tidak dilaksanakan,” katanya. Sinyo membenarkan cerita itu. Hanya, dia tak setuju dengan syarat yang disodorkan Gunarsa.

Alhasil, upaya damai pun kandas. Pengusutan jalan terus dan kasus ini pun, dua pekan lalu, akhirnya masuk ruang pengadilan. Jaksa Made Endrawan mendakwa Hendradinata melanggar Pasal 2 Undang-Undang Hak Cipta. ”Karena terdakwa mengumumkan itu lukisan hasil karya Gunarsa,” kata jaksa. Menurut Made Endrawan, pihaknya akan membawa sejumlah bukti yang menyatakan Hendradinata melakukan pemalsuan lukisan. ”Tapi memperbanyak lukisan itu sulit sekali pembuktiannya,” ujarnya.

Untuk mengantisipasi Hendradinata lolos dari pasal ini, jaksa Endrawan melapisinya dengan dakwaan berikutnya: memamerkan dan menjual barang hasil pelanggaran hak cipta. ”Karena lukisan yang dijual atau dipamerkan itu adalah lukisan palsu atau hasil perbanyakan yang tidak sah,” katanya.

Pengacara Hendradinata, Gde Widiatmika, menilai dakwaan jaksa tak tepat. Menurut dia, pengertian pelanggaran hak cipta adalah pelanggaran terhadap hak eksklusif yang dimiliki pemegang hak cipta. Dalam kasus ini, menurut Widiatmika, Gunarsa sendiri menyangkal keaslian lukisan itu. ”Itu berarti Gunarsa tidak memiliki hak cipta atas lukisan itu,” kata Widiatmika. Selain itu, kata Widiatmika lagi, kliennya mendapatkan lukisan tersebut dari Suwitha. Padahal Suwitha tak pernah didakwa dengan pemalsuan lukisan, tapi dengan pemalsuan identitas Gunarsa.

Sinyo sendiri tetap yakin lukisan di galerinya asli karya Nyoman Gunarsa. Sepuluh lukisan itu, kata dia, dibarternya dengan sedan Timor seharga Rp 60 juta dan lukisan karya pelukis Doho seharga Rp 70 juta. Menurut Sinyo, untuk kasus ini dia sebenarnya bisa menggugat Suwitha. ”Tapi bagaimana lagi? Wong dia sudah bangkrut,” katanya. Kepada Sinyo, Suwitha berkeras bahwa lukisan itu asli. ”Dia mengaku siap sumpah cor (sumpah di pura),” kata Sinyo.

Sinyo percaya kepada Suwitha karena melihat kedekatan pria itu dengan Gunarsa. ”Memang ada goresan yang kurang mantap, tapi saya pikir itu karena Gunarsa sempat sakit,” kata Sinyo. Pada 1998, Gunarsa memang sempat dirawat karena stroke. Sinyo, pemilik showroom mobil dan pengusaha properti, juga membantah punya koneksi kuat di Polda Bali sehingga saat kasus ini muncul pada tahun 2000 ia seperti tak terjamah.

II. Pembahasan

Kutipan UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

1. Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

3. Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.

4. Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai Pemilik Hak Cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut.

5. Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran suatu Ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media internet, atau melakukan dengan cara apa pun sehingga suatu Ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain.

6. Perbanyakan adalah penambahan jumlah sesuatu Ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.

Ciptaan yang Dilindungi Pasal 12 :

(1) Dalam Undang-undang ini Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup diantaranya : seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;

Persidangan Kasus Nyoman Gunarsa dengan Sinyo

Sidang pemalsuan lukisan karya Nyoman Gunarsa yang menggiring terdakwa Ir Hendra Dinata alias Sinyo (42) di Pengadilan Negeri Denpasar, Selasa, sempat diwarnai debat kusir antara jaksa dan saksi ahli dengan tim penasehat hukum (PH) terdakwa.

Perdebatan tersebut muncul setelah Prof Drs AA Rai Kalam yang didengar keterangannya sebagai saksi ahli, mengaku punya keahlian dalam membedakan sebuah karya seni lukis yang asli dan yang palsu.

"Dari mana saudara saksi memiliki keahlian seperti itu ?," kata Suryatin Lijaya SH, salah seorang anggota tim PH terdakwa, melontarkan pertanyaan.

"Dari bangku pendidikan di FSRD ITB di Bandung," kata Rai Kalam menjawab.

Suryatin menyergah, apa di kampus FSRD ITB atau di perguruan tinggi seni yang lain ada mata pelajaran tersendiri yang khusus untuk mendalami tentang lukisan yang asli dan yang palsu ?.

"Ada", jawab Rai Kalam. "Kalau ada apa nama mata pelajaran itu ?," sambung Suryatin.

Rai Kalam tidak secara tegas menyebut nama mata pelajaran/kuliah dimaksud, namun disebutkan di perguruan tinggi seni diajarkan tentang apresiasi dan tinjauan seni lukis.

Lewat dua pengajaran tentang dua hal tersebut, seseorang yang pernah duduk di perguruan tinggi seni, senantiasa dalam menganalisa untuk kemudian membedakan mana lukisan yang asli karya seorang seniman, dan mata yang dipalsukan.

Selain tentang itu, perdebatan antara tim PH dengan jaksa juga berlangsung cukup sengit menyangkut beberapa protes jaksa atas pertanyaan tim PH yang dinilai tidak relevan dengan materi perkara.

Namun demikian, debat kusir tersebut kerap kali harus terhenti setelah Hakim Ketua Wayan Mertha SH ambil bagian untuk menengahinya.

Dalam kesaksiannya, Prof Rai Kalam mengaku memiliki keahlian untuk dapat membedakan mana lukisan yang asli dan mana yang palsu.

"Begitu saya cermati, saya bisa membedakan apakah sebuah lukisan itu karya pelukis ternama atau bukan, atau sebaliknya yang dipalsukan," kata Rai Kalam.

Ditanya hakim tentang enam buah lukisan yang kini dijadikan barang bukti (BB) perkara pidana di persidangan, lulusan FSRD ITB tahun 1978 itu menyebutkan bahwa seluruhnya adalah palsu.

"Saya tahu persis kalau enam buah lukisan itu adalah palsu, yakni bukan karya pelukis Nyoman Gunarsa," kata Rai Kalam sembari melakukan pengamatan ke bagian pojok ruang sidang, tempat BB lukisan dipajang.

Menurut dia, karya-karya Gunarsa memiliki daya "power spirit" yang tinggi, serta tarikan garis yang sangat kuat. "Ini sama sekali tidak terlihat pada lukisan yang palsu," kata Rai Kalam menjelaskan.

Untuk mendengarkan keterangan saksi lain, majelis hakim menunda persidangan hingga dua pekan mendatang.

Sementara Jaksa Nyoman Rudju SH dalam surat dakwaan pada sidang sebelumnya menyatakan, terdakwa Sinyo bersalah telah dengan sengaja memalsukan sejumlah lukisan yang aslinya dikerjakan pelukis asal Klungkung, Nyoman Gunarsa.

Kasus pemalsuan tersebut terbongkar setelah istri perupa kondang itu, Ny Indrawati Gunarsa, menemukan beberapa lukisan karya suaminya yang diketahui palsu, yang ketika itu dipajang di Cellini Designed dan Interior di Jalan Gatot Subroto Timur Denpasar.

Temuan tersebut, oleh Ny Indrawati kemudian dilaporkan kepada pihak kepolisian setempat.

Polisi yang kemudian melakukan pengusutan, menyatakan kalau dalam lukisan palsu tersebut juga dibubuhi tanda tangan yang seolah-olah dibuat oleh pelukisnya.

Selain itu, di bagian bingkai (frame) pada delapan lukisan di atas kanvas dengan aneka ukuran, juga terdapat stiker yang bertuliskan Nyoman Gunarsa, kata jaksa.

Dikatakan, meski dalam lukisan tersebut ada tandatangan Gunarsa, namun pada kenyataannya dia tidak pernah membubuhkan tandatangan.

Hal itu, lanjut jaksa, diperkuat dengan hasil penelitian tim Laboratorium Forensik (Labfor) Polri Cabang Denpasar, bahwa tandatangan pada lukisan palsu tersebut adalah juga palsu.

Demikian pula adanya stiker yang bertuliskan Nyoman Gunarsa, sengaja dipalsukan untuk tujuan bahwa sejumlah lukisan tersebut seolah-olah karya Nyoman Gunarsa, ucapnya.

"Semua bukti tersebut menunjukkan telah terjadinya pelanggaran hak cipta yang telah dilakukan oleh terdakwa Sinyo," kata jaksa.

Perbuatan tersebut, lanjut jaksa, melanggar pasal 44 ayat 1 UU No.12/1997 tentang hak cipta, dengan ancaman hukuman lima tahun penjara

III. Kesimpulan

Hasil Persdangan

Dalam persidangan, akhirya pihak Ir. Hendra Dinata alias Sinyo divonis bebas oleh Hakim Wayan Mertha. Meskipun vonis majelis hakim dalam sidang final kasus pemalsuan lukisan karyanya Selasa (30/10) benar-benar tak memuaskan hatinya, namun secara gentlemen dan legowo, Nyoman Gunarsa menerima dan menghormati putusan itu. Baginya, perjuangan belum berakhir. Soal kalah menang itu sudah lumrah. Namun, yang penting baginya adalah tetap berjuang menegakkan hak cipta dan tak akan pernah mundur selangkah pun.

Selasa, 30 Oktober 2007, adalah hari, tanggal, bulan dan tahun yang memiliki arti tersendiri bagi seniman berusia 63 tahun ini. Bagi Ketua Sentra HaKI Bali ini, saat itu adalah waktu yang menjadi saksi perjuangan panjangnya terhadap kinerja aparat penegak hukum yang belum bisa menghargai arti sebuah perjuangan.

Apa yang diperjuangkannya selama lebih dari tujuh tahun demi martabat bangsa dan negara itu, tak menjadi pertimbangan logis saat menjatuhkan vonis.

Peluang bagi Pemalsu
Apa dampak yang bakal ditimbulkan vonis bebas hakim, Gunarsa mengatakan bahwa peluang bagi pelanggar hak cipta di Indonesia, terbuka lebar. “Pemalsu berpesta, seniman merana,” katanya mengibaratkan.

VONIS hakim yang dinilai timpang dan belum mencerminkan rasa keadilan, mendapat tanggapan langsung dari beberapa praktisi hukum. Menurut mereka, ini akan menjadi preseden buruk bagi pencari keadilan selama aparat hukum belum mampu menilai permasalahan secara objektif dan berpijak pada fakta dan hati nurani.

Hal yang paling bisa melindungi keberlangsunga kreativitas para seniman adalah dengan adanya undang-undang hak cipta. Namun, yang perlu diperhatikan adalah pemahaman tentang undang-undang tersebut, baik bagi para pelaku seni ataupun semua orang yang bersinggunga dengan hak cipta. Kasus ini memperlihatka bahwa tidak semua kasus tentang hak cipta dapat disidangkan sesuai dengan keinginan kita. Karena dalam dunia hukum diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai sebuah kasus. Dan kasus persidangan hak cipta ini merupaka kasus yang pertama di Indonesia.s

referralid=(yoRjQzIo4.' target="_blank">

from FB

Cari sepuasnya disini z

Custom Search